Demokrasi Membutuhkan Keadilan Sosial
Negara ini mengalami banyak hal yang tidak sinkron. Di satu sisi,
pertumbuhan ekonomi kita sangat tinggi, yakni di atas 6%. Ini termasuk
tertinggi di dunia. Namun, di sisi lain, di hadapan kita terhampar fakta:
ketimpangan makin mengangga, pengangguran bertambah, dan kemiskinan tidak
berkurang.
Logikanya sebetulnya sederhana: kalau terjadi pertumbuhan, seharusnya
rakyat makin sejahtera. Dan, karena ada efek menetes ke bawah, maka
masyarakat kalangan bawah pun mestinya keciptratan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
itu.
Yang terjadi, ekonomi tumbuh pesat, ketimpangan kian melebar. Artinya,
pertumbuhan itu hanya dinikmati segelintir orang, yakni golongan atas, dan
tidak pernah menetes ke bawah. Akibatnya, yang di atas makin kembung, sementara
yang di bawah kekeringan.
Kalau situasinya sudah begitu, bisakah demokrasi berjalan dengan baik?
Dalam pidato penerimaan gelar Doktor Kehormatan dari Nanyang
Technological University, Singapura, Senin (22/4), Presiden SBY mati-matian
membela keyakinannya, bahwa demokrasi dan pertumbuhan ekonomi bisa diraih
bersamaan. “Jadi, kami telah menunjukkan bahwa pertumbuhan demokrasi dan
ekonomi dapat saling menguatkan,” kata Presiden SBY. Buktinya, kata SBY,
ekonomi Indonesia tetap tumbuh 6%, tetapi partisipasi politik juga tinggi.
Sebetulnya, 68 tahun yang lalu, para pendiri bangsa sudah meyakini bahwa
demokrasi tidak akan kuat apabila tidak ditopang oleh kesejahteraan sosial.
“Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” kata Bung
Karno dalam pidato 1 Juni 1945.
Para pendiri bangsa kita sudah menyadari, bahwa kesetaraan di lapangan
ekonomi merupakan basis untuk memperkuat kesetaraan di bidang politik. Jika di
lapangan ekonomi terjadi ketimpangan, maka partisipasi rakyat dalam politik pun
timpang.
Okelah, demokrasinya sebatas politik. Memang kesannya demokratis. Siapapun
dibolehkan mencalonkan diri sebagai Presiden. Siapapun bisa mendaftar sebagai
calon legislatif. Engkau tidak perlu menundukkan kepala kepada Presiden atau
pejabat-pejabat tinggi lainnya.
Namun, satu hal yang tidak bisa anda tolak: kalau kau tidak punya uang,
anda akan lumpuh tak bergerak. Untuk menjadi anggota parlemen, anda harus
berkampanye. Setidaknya, anda harus punya uang untuk ongkos kesana-kemari.
Sementara lawan anda adalah si kapitalis. Ia punya alat produksi untuk
menghasilkan keuntungan/profit. Dan profit itu bisa di-uang-kan. Dengan
uang itu, ia bisa membeli segala-galanya: media, lembaga pemilu, aparat
birokrasi, dan lain-lain. Bahkan, Ia bisa membeli suara rakyat yang sedang
terjepit dalam kesulitan ekonomi.
Itulah yang terjadi saat ini. Di satu sisi, orang dianggap punya hak yang
sama dalam politik: berhak memilih dan dipilih. Di sisi lain, kontestan dalam
berbagai ajang politik di Indonesia, baik pemilu maupun pilkada, hanyalah
orang-orang yang berduit banyak.
Untuk menjadi anggota DPR, seperti diungkap oleh desertasi Pramono Anung,
setiap caleg harus mengeluarkan paling minimal Rp 600 juta (kategori caleg
artis yang sudah populer) dan tertinggi Rp 6 milyar (kategori caleg pengusaha).
Kalau sudah begini, bisakah petani miskin atau buruh miskin menjadi anggota
DPR?
Situasi itu berdampak buruk. Pertama, sistem politik biaya
tinggi hanya melahirkan oligarki. Dari pemilu ke pemilu, wajah
kontestasi politik kita hanya diisi oleh elit-elit itu juga. Capres-Capres kita
selalu muka-muka lama. Sebanyak 90,5 persen anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) hasil pemilu 2004 dan 2009 kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014.
Kedua, sistem politik kita cenderung korup. Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menyebutkan bahwa sebanyak 69,7 persen
anggota DPR terindikasi korupsi. Sementara pejabat negara, dari pusat hingga
daerah, banyak kesandung kasus korupsi. catatan Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) menemukan: sepanjang tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota
DPRD provinsi dan 998 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut berbagai
status hukum. Sebagian besar adalah kasus korupsi.
Ketiga, politik makin tereduksi dari seni mengelola kekuasaan demi kepentingan
umum menjadi seni merebut kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Desertasi Pramono Anung, misalnya, menyimpulkan bahwa motivasi utama orang
ingin menjadi anggota DPR adalah kepentingan ekonomi atau ‘mencari nafkah’.
Saya kira, motif serupa juga melandasi setiap elit yang bertarung di Pilkada.
Keempat, lembaga-lembaga politik kita makin kehilangan daya tawar atau tunduk
kepada kepentingan swasta/bisnis. Hampir semua kebijakan politik di DPR,
misalnya, sangat akomodatif terhadap kepentingan pasar dan liberalisasi
ekonomi. Jajaran birokrasi kita (Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota,
DPR, DPRD I/II) hanya menempatkan diri sebagai pelayan kepentingan bisnis.
Kepentingan mayoritas rakyat tidak lagi tersalurkan atau terdengar oleh
lembaga-lembaga politik kita. Ini yang menyebabkan rakyat makin skeptis
terhadap lembaga-lembaga politik dan proses-proses politik. Tingkat partisipasi
politik rakyat dari tahun ke tahun makin merosot. Pada tahun 1999, tingkat
partisipasi pemilu masih mencapai 92%. Namun, dalam dua pemilu berikutnya,
tingkat partisipasi merosot tajam: pemilu 2004 (84,1 persen) dan 2009 (71,1%).
Artinya, dalam 10 tahun saja/dua periode pemerintahan, tingkat partisipasi
turun 20% lebih.
Dengan demikian, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan rendahnya penciptaan
lapangan kerja berkontribusi negatif terhadap kualitas demokrasi kita. Kekayaan
yang makin menumpuk di tangan segelintir orang hanya melahirkan politik
oligarki.
Demokrasi hanya kuat jika semua orang punya akses terhadap sumber daya
ekonomi. Dengan begitu, orang bisa membela martabatnya dan tidak gampang untuk
disuap. Demokrasi juga memerlukan rakyat yang cerdas, melek informasi, dan
kritis. Dan rakyat cerdas, melek informasi, dan kritis hanya mungkin jika akses
terhadap sumber daya ekonomi dikelola secara demokratis dan kolektif. Saya
kira, inilah esensi dari sosio-demokrasi, yang mengawinkan demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi. Demokrasi harus ditopang oleh keadilan sosial. Inilah
roh dari Pancasila!
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20130527/demokrasi-butuh-keadilan-sosial.html#ixzz3cHGsPLcE
Pendapat :
Menurut pendapat saya melihat keadilan dinegara kita
memang belum sepenuhnya adil . Masih banyak kemiskinan dan kelaparan dinegara
kita . Banyak daerah-daerah terpencil yang masih belum merasakan kemerdekaan
kita , karena jauh dari kota mereka masih hidup dengan seadanya misalnya dengan
salah satu fasilitas jalan atau penghubung antar desa masih menggunakan
jembatan yang dibuat oleh bambu yang susah mulai rapuh dan berbahaya untuk
keselematan mereka , dan masih ada siswa-siswi yang harus melawan arus sungai
untuk menuju sekolah mereka . Dalam artikel disebutkan kalau negara kita
mengalami pertumbuhan ekonomi sebanyak 6% , lalu mengapa masih ada yang tidak sejahtera
dinegara kita . Saya sangat prihatin melihat keadaan ini , saya berharap agar
pemerintah dapat lebih adil dalam menegakan keadilan dinegara kita . Berantas
para koruptor yang merugikan negara , karena kita dapat memajukan negara dengan
keadilan dan kesejateraan bersama .
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!